Wednesday, December 14, 2005

Andai Para Raja Itu Tahu ...


Andai para raja itu tahu kebahagiaan yang kami miliki, pastilah mereka rebut kebahagiaan kami itu dengan pedang-pedang mereka ....

Ungkapan seorang seorang ulama salafush-sholeh (kalau tidak salah Ibnu Taimiyah), mengomentari beberapa gangguan pemerintah terhadap perjuangan beliau. Perjuangan menegakkan dienul Islam, yang mengakibatkan beliau di penjara dan diusir.

Kehidupan bagaikan sebuah perjalanan. Ada awal, istirahat dan akhir. Kehidupan kita didunia ini bagaikan saat dimana seorang musafir istirahat sesaat dibawah rindangnya pohon, yang kemudian segera akan ia tinggalkan untuk melanjutkan perjalanan yang masih panjang. Hiduplah engkau di dunia, seperti orang asing, atau orang yang dalam perjalanan. Orang asing yang selalu hati-hati. Sebab, ia belum paham betul seluk beluk wilayah. Waspada terhadap segala kemungkinan buruk, berupa lobang-lobang dijalanan, duri yang bertebaran, salah jalan dan salah kendaraan.

Maka kehidupan yang paling baik dan indah, bilamana kita mempersiapkan untuk sisa hidup kita kelak. Bukan yang lalu dan bukan yang sekarang, tetapi untuk yang kemudian.

Seorang syaikh dakwah, Muhammad Ahmad Rasyid, mengobarkan kembali konsep Firasatilah dirimu, dimana setiap amal ketaatan akan menurunkan rahmat dan barakah Allah, dan sebaliknya setiap maksiyat atau meninggalkan ketaatan akan menurunkan azab Allah. Seringkali kita tidak merasakan azab dan balasan Allah tersebut, karena telah begitu kerasnya hati kita dan telah tertutupnya telinga kita. Firasati dirimu, yaitu dengan terus muhasabah, bahwa segala ujian yang telah kita rasakan saat ini, adalah akibat dari kita tadi atau kemarin telah bermaksiyat dan meninggalkan ketaatan. Firasati dirimu, dan bersegeralah bertaubat. Karena ketergelinciran haruslah disikapi dengan taubat. Mencari sebab kaki tergelincir, berazam tidak mengulangi kekeliruan dan lebih berhati-hati pada langkah selanjutnya.

Kehidupan dengan orientasi masa akhirat, melahirkan kenikmatan pada amal ketaatan. Dan sesungguhnya kelelahan karena melakukan ketaatan lebih disukai para salafush-sholeh kita. Lalu mengapa diri kita hanya memiliki tenaga dan waktu sisa untuk ketaatan.

Andai para raja itu tahu kebahagiaan yang kami miliki, pastilah mereka rebut kebahagiaan kami itu dengan pedang-pedang mereka ....




Monday, December 05, 2005

Niku Guru Kulo

Suatu renungan di Hari Guru yang telah mengingatkan kita, bahwa sebuah akhlakul karimah, berupa penghormatan kepada seorang guru.

Saya begitu terpengaruh dengan ucapan kakek itu terakhir sebelum turun panggung. "Masio isik enom, niku guru kulo." Meski masih muda (dari saya), beliau itu guru saya. Bagi saya, itu kalimat sederhana yang sarat makna dan tata-krama.

Betapa tidak? Kakek itu sampai detik ini masih menyebut "guru" kepada ustadz yang dulu, dulu sekali, pernah mengajarinya mengaji. Ia tidak menyebutnya dengan "mantan guru", "pernah jadi guru", apalagi "bekas guru." Ia tetap menyebutnya "guru", meski ia sendiri sudah tidak muda lagi.

Ini menunjukkan tata-krama yang luar biasa terhadap orang yang pernah berjasa membuat kita dari tidak tahu menjadi tahu, dari tidak mengerti menjadi mengerti. Dari bodoh menjadi pandai. Siapa saja. Bahkan Ali bin Abi Thalib r.a. pernah mengatakan bahwa siapa saja yang pernah mengajari kita, meski hanya satu huruf, adalah guru kita. Mungkin musuh kita adalah guru kita juga. Boleh jadi.


Selengkapnya baca di Kolom Oase, EraMuslim.Com 1 Desember 2005