Saturday, February 27, 2021

Kisah Rasulullah saw - Bagian 1.2

KISAH RASULULLAH ﷺ*

Bagian 1.2

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ مُحَمد

*Muhammad Kembali Ke Dusun*

Halimah dan suaminya mengembalikan Muhammad kepada Aminah. Alangkah bahagianya Aminah bertemu lagi dengan putra tunggalnya itu.

"Lihat! Kini engkau tumbuh menjadi anak yang tegap dan sehat!" ujar Aminah.

Aminah memandang Halimah dan suaminya dengan mata berbinar-binar penuh rasa terimakasih," Kalian telah merawat Muhammad dengan baik, bagaimana aku harus berterimakasih?"

Halimah dan suaminya berpandangan dengan gelisah. Sebenarnya mereka merasa berat berpisah dengan Muhammad. Mereka amat menyayangi anak itu. Selain itu, sejak Muhammad datang, kehidupan mereka dipenuhi keberkahan.

"Kami cuma berharap andaikan saja engkau sudi membiarkan anak ini tetap bersama kami hingga menjadi besar. Sebab, aku khawatir ia terserang penyakit menular yang kudengar kini sedang mewabah di Mekah," pinta Halimah.

Aminah menyadari bahwa yang mereka pinta dan katakan ada benarnya, tetapi hatinya bimbang karena hampir tak sanggup berpisah lagi dengan putranya. Ketika, Abdul Muthalib datang. Bangga sekali ia melihat pertumbuhan cucunya yang begitu bagus di daerah pedalaman, maka ia berkata:

"Aku ingin Muhammad kembali ke Dusun Bani Sa'ad sampai ia berusia lima tahun," kata Abdul Muthalib, "agar ia di situ belajar berkata-kata dan telinganya terbiasa mendengarkan bahasa Arab yang murni dengan fasih pula."

Aminah mengerti bahwa ia harus kembali melepas Muhammad demi masa depan putranya sendiri.

"Beri aku waktu beberapa hari bersama putraku, setelah itu bolehlah kalian membawanya kembali," kata Aminah.

Akhirnya, Muhammad pun dibawa kembali ke dusun Bani Sa'ad. Namun, di sana ia mengalami sebuah peristiwa yang sangat mengguncangkan.

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ مُحَمَّد

 *Pembelahan Dada* 

Peristiwa itu terjadi tidak lama setelah keluarga Halimah kembali ke pedalaman. Saat itu umur Muhammad belum lagi genap tiga tahun.
Hari itu, Muhammad kecil ikut menggembalakan kambing bersama saudara-saudaranya. Tiba-tiba salah seorang putra Halimah datang berlari-lari sambil menangis.

"Ada apa?" Tanya Halimah dan suaminya panik.

"Saudaraku yang dari Quraisy itu! Dia diambil oleh seorang laki-laki berbaju putih. Dia dibaringkan. Perutnya dibelah sambil dibalik-balikkan!"

Halimah dan Harits segera berlari mencari Muhammad. Mereka menemukan anak itu sedang sendiri. Wajah Muhammad pucat pasi. Halimah dan suaminya memperhatikan wajah Muhammad baik-baik.

"Apa yang terjadi padamu, Nak?" tanya mereka.

"Aku didatangi oleh seorang laki-laki berpakaian putih. Aku dibaringkan lalu perutku dibedah. Mereka mencari sesuatu di dalamnya. Aku tak tahu apa yang mereka cari."

Tanpa bertanya lagi Halimah segera membawa Muhammad pulang. Hatinya dipenuhi kecemasan.

"Aku takut Muhammad didatangi dan digoda oleh jin" kata Halimah kepada suaminya.

"Lebih baik kita membawanya kembali ke Mekah," jawab Harits

Lanjut ➡️ 1.3

Kisah Rasulullah saw - Bagian 1.1

-
*KISAH RASULULLAH ﷺ*

Bagian 1.1

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ مُحَمد

*Halimah*

Ketika Halimah dan Harits kembali ke rombongan, mereka melihat semua kawan mereka telah mendapatkan bayi untuk dibawa pulang dan disusui.

Melihat itu, Halimah berkata kepada suaminya, 
"Demi Allah, aku tak ingin mereka melihatku pulang tanpa membawa bayi. Demi Allah, aku akan pergi kepada anak yatim itu dan mengambilnya."

"Tidak salah kalau engkau mau melakukannya. Semoga Allah memberi kita keberkahan melalui anak yatim tersebut."

Akhirnya Halimah dan suaminya kembali menemui Aminah dan membawa Muhammad ke dusun mereka. Aminah melepas bayinya itu dengan perasaan lega bercampur sedih. Lega karena akhirnya ada yang mengasuh Muhammad, sedih karena harus berpisah dengannya selama dua tahun ke depan.

"Pergilah, Nak. Ibu menunggumu di sini," bisik Aminah dengan pipi yang hangat dialiri air mata.

Tatkala menggendong Muhammad, Halimah keheranan, "Aku tidak merasa repot membawanya, seakan-akan tidak bertambah beban."

Kemudian, Halimah menyusui Muhammad.

"Lihat, bayi ini menyusu dengan lahap," kata Halimah kepada suaminya.

Setelah menyusui Muhammad, Halimah menyusui bayinya sendiri. Bayi itu juga menyusu dengan lahap. Setelah itu, Muhammad dan bayi Halimah tertidur dengan lelap.

"Anak kita tidur dengan lelap," bisik Halimah kepada suaminya, "padahal, sebelumnya kita hampir tidak bisa tidur karena ia rewel terus sepanjang malam."

Malam itu, keduanya bertambah heran karena unta tua mereka ternyata kini menghasilkan susu.

"Engkau tahu, Halimah. Sebelum ini unta tua kita tidak menghasilkan susu setetes pun," gumam Harits.

Suami istri itu meminum air susu unta sampai kenyang.

"Malam ini benar-benar malam yang indah, " kata Halimah kepada Harits, "bayi kita tertidur lelap dan kita pun bisa beristirahat dengan perut kenyang."

"Demi Allah, tahukah engkau Halimah, engkau telah mengambil anak yang penuh berkah."

"Demi Allah, aku pun berharap demikian."


*Kebanggaan Rasulullah*

Lingkungan di Bani Sa'ad benar-benar sangat murni. Kelak Rasulullah pun dapat berkata dengan bangga, "Aku adalah keturunan Arab yang paling tulen. Sebab aku anak suku Quraisy yang menyusui di Bani Sa'ad bin Bakr."

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ مُحَمَّد

*Keberkahan*

Keberkahan yang dibawa Muhammad kecil tidak berhenti sampai di situ. 
Ketika dalam perjalanan kembali ke dusun Bani Sa'ad, terjadi hal yang mengherankan.

"Suamiku, tidakkah engkau melihat hal yang aneh pada keledai tungganganku?" tanya Halimah.

"Saat kita pergi, keledai ini berjalan pelan sekali," Harits menanggapi, "tetapi, kini ia dapat berjalan cepat seolah tak kenal lelah. Padahal, beban yang dibawanya cukup berat."

Keledai itu berjalan cukup cepat sehingga bisa menyusul dan melewati rombongan wanita Bani Sa'ad lainnya yang telah berjalan lebih dulu.

"Halimah putri Abu Dhu'aibi!" panggil para wanita itu keheranan, "tunggulah kami! Bukankah ini keledai yang engkau tunggangi saat kita pergi?"

"Demi Allah, begitulah," balas Halimah, "ini memang keledaiku yang dulu."

"Demi Allah, keledaimu itu kini bertambah perkasa!"

Ketika tiba di rumah, Halimah dan Harits tambah terkejut.

"Sepetak tanah kita!" bisik Halimah tak percaya.

"Sepetak tanah kita ini jadi begitu hijau dan subur! Padahal, saat kita berangkat, tak ada sepetak tanah pun yang lebih gersang dari ini!"

"Domba-domba juga!" seru Harits, "domba domba kita jadi gemuk dan susunya penuh. Kini kita dapat memerah dan meminum susu mereka setiap hari."

Begitulah keberkahan yang mereka terima selama mengasuh Muhammad. Namun, dua tahun pun berlalu, kini tiba saatnya mengembalikan Muhammad kepada ibunya.

Kisah Rasulullah saw. Bagian 1.0

_Assalamualaikum wr.wb_

*KISAH RASULULLAH ﷺ*

Bagian 1.0

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ مُحَمد

*Kelahiran Muhammad صلى الله عليه وسلم*

Pada hari Senin pagi tanggal 12 Rabiul Awwal pada tahun yang sama dengan penyerbuan Abrahah (tahun gajah), Aminah melahirkan seorang bayi laki-laki. Saat itu bertepatan dengan bulan Agustus tahun 570 Masehi. (Sebagian pendapat mengatakan bahwa Aminah melahirkan pada tanggal 20 atau 21 April tahun 571 Masehi).

Aminah mengutus seseorang sambil berkata, "Pergilah kepada Abdul Muthalib dan katakan, 'Sesungguhnya telah lahir bayi untukmu. Oleh karena itu, datang dan lihatlah '."

Abdul Muthalib bergegas datang. Ketika mengambil bayi itu dari pelukan Aminah, dadanya bergemuruh dipenuhi rasa sayang.

"Kehadiranmu mengingatkan aku kepada ayahmu. Sungguh, di hatiku kini dirimu hadir sebagai pengganti Abdullah."

Dengan penuh rasa syukur, orangtua itu menggendong cucunya berthawaf, mengelilingi Ka'bah. Kali ini tidak kepada berhala, tetapi kepada Allah. Abdul Muthalib berdoa dan bersyukur.

"Aku memberimu nama Muhammad," kata Abdul Muthalib.

*Muhammad* berarti *terpuji*, sebuah nama yang tidak umum di kalangan masyarakat Arab, tetapi cukup dikenal.

Kemudian, ia memerintahkan orang untuk menyembelih unta dan mengundang makan masyarakat Quraisy.

"Siapa nama putra Abdullah, cucumu itu?" tanya seseorang kepada Abdul Muthalib.

"Muhammad."

"Mengapa tidak engkau beri nama dengan nama nenek moyang kita?"

"Kuinginkan ia menjadi orang yang terpuji, bagi Tuhan di langit dan bagi makhluk-Nya di bumi," jawab Abdul Muthalib.


*Cahaya Aminah*

Ketika Aminah mengandung Nabi Muhammad, ia melihat seberkas sinar keluar dari perutnya dan dengan sinar tersebut ia melihat istana-istana Busra di Syam.

Saat itu di kalangan bangsawan Arab sudah berlaku tradisi yang baik, yakni mereka mencari wanita-wanita desa yang bisa menyusui anak-anaknya.

Anak-anak disusukan di pedalaman agar terhindar dari penyakit, memiliki tubuh yang kuat dan agar dapat belajar bahasa Arab yang murni di daerah pedesaan.

Tidak lama kemudian ke Mekah datanglah serombongan wanita dari kabilah bani Sa'ad mencari bayi untuk disusui. Di antara mereka ada seorang ibu bernama Halimah binti Abu Dzu'aib.

"Suamiku," Panggil Halimah "tahun ini sungguh tahun kering tak ada tersisa sedikit pun hasil panen di kampung halaman kita. Lihat unta tua kita tidak lagi menghasilkan susu sehingga anak-anak menangis pada malam hari karena lapar."

"Semoga kita mendapat bayi seorang bangsawan kaya yang dapat memberi kita upah yang layak untuk menanggulangi kesengsaraan ini," jawab sang suami.

Namun harapan mereka tak terkabul, hampir semua bayi bangsawan kaya telah diambil oleh teman-teman serombongan mereka. Hanya ada satu bayi dalam gendongan ibunya yang mereka temui.

"Namanya Muhammad" kata Aminah kepada pasangan tersebut "ia anak yatim tinggal aku dan kakeknya yang merawatnya." Halimah dan suaminya, Al-Harits bin Abdul Uzza saling berpandangan. 

Mereka enggan menerima anak yatim karena tidak ada Ayah yang dapat memberi mereka upah yang layak. Pasangan tersebut menggeleng dan pergi mencari bayi lain, Aminah memandangi bayi dalam dekapannya dengan sendu. Setiap wanita Bani Saad yang mendapat tawaran untuk menyusui Muhammad, selalu menolaknya karena anak yatim.

*Tsuwaibah*

Sebelum kedatangan para wanita Bani sa'ad, Muhammad disusui Tsuwaibah budak perempuan Abu Lahab. 
Hanya beberapa hari Muhammad disusui oleh Tsuwaibah. 

Akan tetapi, di kemudian hari, di sepanjang hidupnya Muhammad selalu memperlakukan Tsuwaibah dengan baik.

Wednesday, September 18, 2013

Pandai saja tidak cukup, perlu juga menarik

Banyak orang yang sangat pandai, tetapi sama sekali tidak menarik. Pandai saja tidak cukup. Kepandaian seolah-olah adalah tenaga mobil dan pemikiran adalah ketrampilan mengemudikan mobil. Ada mobil yang bertenaga besar, tetapi dikemudikan dengan cara buruk. Ada juga mobil bertenaga kecil, tetapi dikemudikan dengan sangat baik. Sebagian orang yang sangat pandai, hanya pandai dibidang mereka saja. Mereka telah mempelajari idiom-idiom di bidang mereka, tetapi tidak memiliki ketrampilan berfikir yang lebih luas. Sehingga ketika mereka berbicara kepada Anda, mereka hanya peduli dengan diri mereka, tidak menarik bagi kita. Apa yang mereka katakan, tidak dapat kita pahami dengan baik. Seakan-akan mereka hanya memberikan buku kepada kita, dan kita diminta untuk mencernanya sendiri. Tidak ada interaksi. Mereka, para orang pandai yang seperti itu, terjebak dalam "perangkap intelejensi". Tidak sedikit dari mereka, orang-orang pandai, yang tidak dapat menularkan kepandaiannya, karena perangkap ini. Mereka lupa bahwa orang dihadapannya belum tentu sepandai mereka. Mereka telah lupa, bahwa mereka pernah bodoh dan telah melalui beragam rintangan hingga mencapai kepandaian yang sekarang. Mereka telah lupa bagaimana caranya menjadi sepandai sekarang dan mereka tidak peduli. Sehingga mereka tidak tahu bagaimana membuat apa yang ingin mereka sampaikan menarik. Alih-alih menarik, justru menjadi rumit, dan orang tidak tertarik untuk mengikuti pembicaraan mereka.

Thursday, November 10, 2011

Faktor pembeda generasi sahabat dan generasi sekarang

Allah SWT telah menciptakan generasi unik, generasi da'i yang telah menjadi pasukan pertama masyarakat Islam. Tidak dapat dipungkiri keunikan, keistimewaan dan kedahsyatan mereka tidak tertandingi sampai kini. Merekalah generasi sahabat ridhwanullah 'alaihim. Lalu apa yang membedakan mereka dengan generasi sesudahnya?

  1. Faktor pertama adalah kesucian dan kebersihan mereka -- generasi sahabat -- dari pengaruh di luar Al-Qur'an. Satu-satunya sumber seluruh kehidupan mereka adalah Al-Qur'an - Kitabullah semata. Adapun sabda-sabda dan petunjuk Rasulullah SAW adalah konsekuensi dari Al-Qur'an. Sedangkan generasi sesudahnya, menjadikan sumber lain sebagai tambahan referensi kehidupan mereka. Terjadi alkulturasi antara sumber Al-Qur'an dan sumber diluar Islam. Ajaran filsafat Yunani beserta ilmu logikanya, mitos-mitos Persia, israilliyat Yahudi, teologi Nasrani, peradaban Kejawen dst. Semua beralkulturasi dengan penafsiran Al-Qur'an. Referensi yang telah "terkontaminasi" tersebut kemudian dipelajari oleh generasi-generasi sesudahnya.
  2. Faktor kedua adalah ketidaksamaan dalam metode pembelajaran. Generasi pelopor, mempelajari Al-Qur'an untuk mengamalkannya. Mereka menerima Al-Qur'an sebagaimana menerima perintah harian yang harus dikerjakan seketika itu juga, sebagaimana prajurit menerima perintah dari komandannya. Oleh karenanya, tak ada seorang pun sahabat Nabi yang meminta banyak-banyak penyampaian Al-Qur'an pada satu majelis, karena hal itu hanya akan menambah kewajiban-kewajiban dan aturan-aturan agama yang membebani mereka. Kesadaran menerima ilmu untuk mengamalkan itulah yang membuat mereka menjadi generasi yang unik. Sedangkan generasi setelahnya, mempelajari Al-Qur'an dan ilmu-ilmu turunannya, sebagai pemenuhan kepuasan akademik, hobi, atau untuk memenuhi perbendaharaan kosa-kata mereka. Al-Qur'an tidaklah hadir sebagai sebuah kitab yang memperkaya akal, tidak pula rujukan sastra dan seni, apalagi kita dongeng dan sejarah -- meskipun itu semua tercakup  didalamnya. Al-Qur'an turun untuk menjadi pedoman hidup (way of live). 
  3. Faktor ketiga adalah totalitas. Generasi pelopor masuk Islam secara totalitas. Tatkala mereka masuk Islam, berarti harus meninggalkan kesesatannya, yakni semua yang dilakukannya semasa jahiliyyah. Ia masuk dengan "komitmen baru". Ada pemisahan kesadaran (uzlah syu'uriyyah) secara penuh antara masa silam seorang Muslim dalam kejahiliyyahannya dengan masa kininya dalam Islam. Kita sekarang berada dalam kejahiliyyahan sebagaimana masa awal Islam, atau bahkan lebih dahsyat lagi.Tetapi kita tidak dapat totalitas dalam ber-Islam. Di satu saat kita menjalankan Islam, di saat lain kita melakukan kejahiliyyahan. 
(sumber Ma'alim Fit Thoriq, Sayyid Quthb)

Thursday, July 01, 2010

Ghuroba tapi Gaul

Islam bermula dalam keadaan asing (gharib), dan akan kembali dianggap asing sebagaimana bermula. Maka beruntunglah orang-orang asing itu (ghuraba). (HR. Imam Muslim dari Abu Hurairah)


Diriwayatkan Imam Thabrani dari Sahl ra., Rasulullah saw ditanya, "Siapakah Ghuraba itu ya Rasulullah?" Beliau menjawab, "yaitu orang-orang yang melakukan perbaikan ketika orang-orang lain rusak."


Syaikh Saad Al Ghamidi seorang kader Al-Ikhwanul Al-Muslimun, munsyid, hafizh, dan qari terkenal, berkata dalam intro nasyid Arab yang sangat terkenal di kalangan aktivis harakah tahun 90-an berjudul Ghuraba yang dilantukannya sendiri dalam album Ad-Damaam 2:

Bukanlah oran gasing yang berpisah dari negerinya. 
Tetapi orang asing itu adalah orang yang 
melihat manusia di sekitarnya bermain-main,
ia membangunkan manusia disekitarnya yang tertidur,
dan ia di atas jalan kebaikan
ketika manusia di sekitarnya terbawa kesesatan


Ya gharib bukan uzlah, mereka terasing di sisi manusia laksana terpenjara, tetapi ia mulia di sisi Rabb mereka. Bukan orang yang uzlah, yaitu yang mengasingkan diri secara fisik, menjauhi kampung halamannya, lari dari masyarakatnya, bukan masyarakat yang menjauhinya.


Iman an Nawawi dalam kitabnya yang terkenal, Riyadhus Shalihin, membuat bab yang panjang berjudul, Keutamaan berbaur dengan manusia dan menghadiri perkumpulan dan jamaah mereka, menyaksikan kebaikan dan majlis dzikir bersama mereka, menjenguk orang sakit, dan mengurus jenazah mereka. Memenuhi kebutuhan mereka, membimbing kebodohan mereka dan lain-lain berupa kemaslahatan bagi mereka, bagi siapa saja yang mampu untuk amar ma'ruf nahi munkar, dan menahan dirinya untuk menyakiti, serta bersabar ketika disakiti.


Imam an Nawawi berkata, dalam Riyadhus Shalihin, "ketahuilah, bergaul dengan manusia dengan cara seperti itu yang saya sebutkan, adalah jalan yang dipilih oleh Rasulullah saw, dan seluruh Nabi shalawatullahu wa salamuhu 'alaihim, demikian pula yang ditempuh oleh Khulafa'ur Rasyidin dan orang-orang setelah mereka dari kalangan sahabat, tabi'in, dan orang setelah mereka dari kalangan ulama Islam dan orang-orang pilihannya. Inilah madzhab kebanyakan dari tabi'in dan orang-orang setelah mereka, ini pula pendapat Asy Syafi'i dan Ahmad, dan kebanyakan fuqaha radhiallahu 'anhum ajma'in. Allah Ta'ala berfirman: 'Saling tolong menolonglah dalam kebaikan dan ketaqwaan (QS. Al Maidah:2) Ayat-ayat dengan makna seperti yang saya sebutkan sangat banyak dan telah diketahui"


Manfaat Bergaul dengan Manusia

  1. Belajar Mengajar
  2. Mengambil dan Memberi manfaat
  3. Melatih diri sendiri dan membimbing orang lain
  4. Mendapat pahala dan membuat orang lain mendapat pahala
  5. Tawadhu
(di sarikan dari tulisan Ust. Farid Nu'man, Al-Intima no. 006)

Friday, November 06, 2009

Yang paling lelah, yang paling mulia tuntutannya

Orang yang merdeka lagi mulia, dalam setiap usahanya tidak pernah bertujuan melainkan tujuan yang paling jauh yang bisa dilakukannya. Karena itu dia tidak pernah berhenti mengerahkan kemampuannya sampai batas maksimal, tanpa mengenal lelah. Berupaya keras merealisasikan keajaiban yang dapat dilakukannya. Terus brilian dalam setiap langkahnya. Darahnya bergejolak, bukan darah yang lemah, apalagi mati.

Sesungguhnya yang dapat mengantarkan da'i kepada tujuannya, hanyalah kecintaan yang sangat kuat kepada dakwah, dan iman serta kepuasannya kepada misi dakwahnya. Dia larut dengannya, dan menekuninya dengan segala bakat, kemampuan dan sarana yang dimilikinya.

Inilah syarat pokok dan ciri khas utama yang harus dimiliki setiap da'i.

Tidak terbelokkan dari tujuannya, oleh kecaman orang yang mengecam.
Banyak diam.
Pikiran yang terus bekerja.
Tidak terbujuk pujian yang menyenangkan,
tidak berhenti karena celaan yang menyakitkan.
Tidak pernah gentar terhadap berbagai halangan yang merintang.
Sabar menjadi motonya.
Kelelahan menjadi kepuasannya.

Oleh karena itu, petaka bagi seorang da'i, bukan hanya perlawanan orang-orang kafir.
Bukan karena ia dipenjara, disiksa, dibiarkan kelaparn.
Petaka sesungguhnya bagi seorang da'i dan muharrik adalah kelemahan cita-cita dan kesenangannya kepada kesantaian.
Petaka sesungguhnya bagi seorang da'i adalah kesia-siaan, kelalaian dan kekosongan waktu.

Saturday, February 07, 2009

Kata dan Sejarah

Sejarah dipenuhi oleh kebiasaan para pelaku sejarah dalam memaknai kata. "Kata adalah sepotong hati," kata Abul Hasan Ali Al-Hasani An-Nadawi. Kekuatan kata dibentuk terutama oleh muatan pikiran yang dikandungnya serta kadar emosi yang menyertai kat itu saat ia lepas dari mulut atau pena. Pikiran-pikiran yang kuat tersusun secara sistematis dan terekam secara jelas -- sejelas matahari dalam benak --, sudah pasti akan menemukan bentuk-bentuk ungkapannya sendiri yang unik dan mempesona saat ia meluncur dalam ucapan atau mengalir dalam tulisan.

Tetapi muatan pikiran yang kuat saja tidak cukup, diperlukan faktor lain yaitu kekuatan keyakinan. Keyakinan yang berupa emosi menggelora dan membuatnya seperti api yang membara atau gelombang yang membadai. Itulah yang membuat setiap jiwa yang berdiri di hadapannya terpesona dan semua akal yang menantangnya luruh tertunduk oleh kekuatan logikanya.

Jadi pemikiran adalah bagaikan air yang mengisi kendi kata-kata, sedangkan keyakinan dan emosi bagaikan ruh yang memberi kehidupan kepada kata itu. Maka ada kata yang lahir dan langsung mati, karena ia tidak memiliki ruh, walau terbalut dengan ribuan hiasan. Ada pula kata yang hidup abadi dalam sejarah, walau tampak sederhana, karena ia lahir dengan membawa ruh kehidupan.

Itulah sebabnya, kata merupakan salh satu indikator yang paling akurat untuk mengukur kadar keluasan wawasan dan kedalaman pengetahuan seseorang di satu sisi dan di sisi yang lain, warna dan jenis kepribadiannya.

Sumber kutipan:
"Pengantar: Tokoh, Kata dan Sejarah" oleh Anis Matta, dalam buku Haditsu Tsulasa oleh Ahmad Isa 'Asyur.

Sunday, December 14, 2008

Makna Kata

Setiap fakta diterjemahkan dalam bentuk kata-kata. Setiap kata memiliki makna. Saya ingat betul tulisan Marpaung tentang fakta sebuah botol yang terisi setengahnya dengan air. Dan ternyata tidak hanya Marpaung, sebab saat tim KM PDII di undang ke Makassar, malam sebelumnya ada gathering penelitian LSM, dan salah seorang peneliti LSM dari Australia juga menyebutkan fakta dan makna botol dan setengah isi air tersebut. Ya, fakta itu bisa dimaknai sebagai "setengah kosong" atau "setengah isi". Fakta yang sama bisa dimaknai berbeda, tergantung sudut pandang kita. Fakta botol yang terisi setengahnya dengan air, dapat dimaknai secara positif bahwa ia setengah terisi, dan dapat pula dimaknai negatif, setengah kosong.

Majalah Tarbawi edisi bulan ini memberikan ulasan editorial, biasa disebut sebagai khotorot, dengan "Mencari Makna". Lebih kepada makna optimisme.



Optimisme kadang lebih soal makna. Bagaimana kita mencari arti positif di balik berbagai hal. Fenomena maupun fakta selalu punya realitasnya yang nyata. Seperti krisis adalah krisis. Gejolak ekonomi adalah gejolak ekonomi. Politik adalah politik.


Tapi, kita bisa mengasi makna-makna optimis di balik semua itu. Meski dengan usay payah. Maka krisis bisa juga bermakna pemicu kreatifitas. Gejolak ekonomi global adalah kesadaran akan ketidaksempurnaan manusia. Politik bisa juga artinya kompetisi pelayanan. Begitu seterusnya. Itu semua sangat tergantung kepada kemauan dan kemampuan kita menggali makna-makna.


...


Optimisme kadang lebih soal makna. ... Harga minyak yang turun, benar-benar fantastis. Pialang minyak yang telah bermandi uang, sekarang pusing. Sedangkan pengguna kendaraan seharusnya menikmatinya.


Optimisme kadang lebih soal makna. Makna saja tidak cukup, memang. Perlu tindakan berlanjut. Sebab ia baru permulaan. Tapi setiap permulaan bisa sangat menentukan. Dan, makna positif adalah modal awal yang baik. Sebab tanpa makna awal yang benar, fakta-fakta tidak bisa mengubah banyak hal.


Optimisme kadang lebih soal makna. Saat jutaan orang Mukmin berkumpul di Arafah, dalam segala letih dan lelah, nun jauh dari berbagai penjuru, ada berjuta makna. Pasti, satu di antara makna-makna itu adalah optimisme bersama Allah Yang Maha Memberi harapan.